Minggu, 22 November 2015

Aku ?


Disini aku menyadari, waktu ini ku ketahui. Aku menulusi berada di titik tengah dari setiap sudut lorong.  Gelap, hanya satu titik cahaya. Kali ini aku hebat, tidak sesak nafas disaat gelap. Aku ingin keluar, ini begitu sunyi. Sepi. Ku telusuri tiap sudut lorong. Bola mata ku mencobat menakap apa itu ?
Seogok manusia? rasa penasaran menyuruak. Membawa kakiku mengangkat menuju sudut yang lebih gelap, satu titik cahaya berkabut tak jelas. Sosok itu begitu mirip dengan ku. Meriuk dalam sepinya, sorot mata yang redup penuh kekosongan. Bukan, ini bukan lagi mirip tapi sama, kenapa dia meriuk? Apakah sepi telah menusuk nadinya? Pancaran bola matanya benar-benar tak bisa di diskripkan, apa yang ia rasakan? Aku memberanikan diri untuk semakin ruang gelap ini goresan kata berterbangan. Ah, dia berteman dengan diri. Aku memberanikan diri untuk mendekapnya. Aku memandang dalam sorot mata itu, mata yang sama dengan ku, tapi tidak dengan pancarannya. Dia begitu rapuh, kosong. Hatinya berdenyut lemah. Sekarang dia berada tepat di depan ku, memeluk dirinya sendiri, semakin meriuk. Ku amati itu semakin dalam.
Terdengar tawa yang begitu mengerikan, aku menamjamkan pendengaran ku. Tepat disisi lorong lain. Ku tinggalkan seogok manusia yang meriuk itu, tapak demi tapak semakin mendengar jelas suara mengegema. Aku melihat seogok manusia lagi yang tingginya sama dengan ku. Apa lagi ini ? aku mendekat dan terus diikutioleh titik cahaya, sorot matanya begitu tajam, guratan kebencian dan amarah tergambar jelas diraut mukanya. Hei ? apa lagi itu aku? Dia mengangkat senyumnya, tapi itu mengerikan bagi ku. Ia seakan ingin menerkam ku, mencabik-cabik nadi ku. huh. Jika kau  sama dengan ku, Kenapa kau semenyeramkan ini? Aku tak pernah seperti itu. Aku memang punya amarah, tapi tidak seperti dia. Aku dibesarkan dengan kasih sayang begitu besar dilingkungan ku, ya walaupun waktu kecil aku pernah ngamuk dan meninju kaca lemari kesayangan ibu ku sampai hancur.  Taoi tidak seperti seogok manusia kaku di depan ku ini. Menyeramkan.
Ku tinggalkan makhluk aneh itu, tak kuat menahan aura yang menyelimutinya. Aku benar-benar ingin keluar. Semakin aku menapakan kaki, semakin tersesat disini aku merasakan udara nyaman dan hangat menyelimuti ku, diseberang lorok terlihat sosok lain sedang menatapk ku dengan kasih sayang. Seakan aku teramat berarti. Mungkin dia dari jawaban gelap ini, aku terbuai dengan sorot matanya, mata yang sama dengan mata ku.
Ku biarkan mata ku menelusuri sisi gelap ini lagi, berharap tidak menemukan seogok makhluk lagi. Tapi itu hanya harapan, beberapa sosok dapat ku tangkap dengan partikel-partikel kecil dari titik sinar kecil yang mengikuti ku sedari tadi.
Oh Tuhan, aku terpojok di sudut paling sudut. Tak mampu membuka mata, siapa pun yang tadi ku temui yang sama dengan ku. Kini telah tepat didepan ku, dengan sorot yang berbeda. Dan begitu nyata. Setan seperti apa ini?
Aku memberanikan diri ku, buka mulut yang kaku. Perasaan yang beku.
Kenapa kalian begitu berbeda? Dari apa kalian terbentuk? Kenapa? Alasan apa tersimpan dari lorong gelap ini ?Hanya segelintir senyum dalam kabut, semakin pudar. Kemudian, gelap.

Sabtu, 21 November 2015

Teruntuk, Pemilik sang rindu




AKU DAN RINDU
 
Huffftt, helaan nafas mungkin akan dapat melambangkan ini.
Rindu? Oh satu makna ini tak bisa ditumpahkan dengan beribu kata.
Rintik hujan pun akan terkalahkan.
Beribu pecinta kata pasti pernah meluapkan ini didalam sebuah karya.
Manusia mana yang dapat mendustakan rindu?

aku dan rindu,
Ini sangat membelenggu, seperti diri dan bayangan. tak akan ku munafikan lagi. Bahwa aku tak pernah henti merindu, selalu berhasrat ingin bertemu, kamu.
Ingin ku kutuk jarak ini, menenggelamkannya ke dalam samudra sana.

Tak ku dustakan lagi,
Setiap embun pagi selalu terbesit nama-nama mu pekat dikaca kamar ku.
Setiap malam angan ku selalu terbayang akan sosok mu.
Bayangan-bayangan yang menusuk hati, jika disadari itu mimpi.

Merindukan mu adalah kebiasaan ku.
Tiap-tiap doa sebelum tidur selalu terselip nama mu, seperti mantra penghantar ke dunia mimpi. Halusinasi indah selalu tergambar jelas di dalam gelap tutup mata, berharap agar alam bawah sadar menjadikannya nyata.
Halusinasi, imajinasi tentang mu telah rapi. Bahkan film-film diluar sana akan kalah dengan apa yang telah tersusun dari angan ku ini.

Ketika mentari menghampiri, menulusuk ke celah-celah menghantar cahaya, itu seakan menjadi kamu. Mencoba membangunkan ku.
Menggampai pori-pori kulit ku dengan saluran cara itu.

Hari-hari seperti itu, tak pernah berkurang tapi  selalu bertambah. Entah kutukan seperti apa ini. Mungkin sajak-sajak sedang menernawakan akan hasrat menggebu untuk menggapai mu.
Akumulasi tentang jumlah-jumlah rindu tak akan terhitung lagi, ditambah dengan waktu yang dilalui. Hasrat semakin menekan, mungkin akan meledak dikala waktu yang tidak tepat.
Kadang kala, ego mampu membunuh rindu, tapi semakin dibunuh rindu itu mengikat hingga memasung rasa lebih dalam.
Kadang kala, logika melemahkan rindu. Tapi energi dari sebuah rasa membentengi itu.


Jika saja teori keseimbangan dapat mengatur ini, mungkin ini akan sedikit adil.
Jika saja para ahli menemukan teori pelepasan rindu selain bertemu, itu mungkin akan lebih indah.

Setan-setan kecil, selalu menggoda. Melemahkan aku untuk terkalahkan.
Dewa hades telah menunggu dengan senyum miringnya, menunggu aku tak berdaya.
Tapi kau tau? Aku akan mengalahkan ini.
Seberapa jarak kita?
Katakan, aku akan mampu bertahan.
Kepada dewa mercury, akan ku titipkan. Hingga ia akan bosan dengan hal yang sama.

kerikil-kerikil sialan itu  selalu mengatakan.
Kau adalah sebuah angan, bayangan mati. Yang akan hilang ditelan waktu nanti.
Mereka menertawakan ku, mereka mencabik harapan indah ku.
Mengganti alur halusinasi indah yang telah ku edit sedemikian rupa.
Mereka bilang aku hanya mimpi, kau tak menanti. Kau tak peduli.

Dan aku tak peduli itu.
Yang mengalahkan ku hanyalah
“ aku sibuk melemahkan rindu, melawan waktu. Dan kau sibuk menikmati dunia nyata mu, kemudian mengubur aku “

Yang aku takutkan adalah
“ aku terkalahkan dengan bayangan nyata yang bukan ketika bersama mu”

Ah, sudahlah. 433 kata sekarang telah tertera. Tapi ini seperti omong kosong yang memuakkan. “ ya, beginilah rindu. Tak akan tergambar walau dengan kata yang beribu “

Sekarang, aku harus keluar dari dunia fiksi ini. Meninggalkan jejak kata, dan menampik lagi. Ini kepada mu!
Tak akan habis jika ku jelaskan rindu disini, bahkan sampai huru-huruf di keyboard menghilang pun. Itu tak akan jelas. “ karna rindu adalah rasa, bukan bahasa yang mampu ditulis dengann kata “

Maka, simpanlah ini dilorong pikiran mu. Di pojok, keterbelakang atau disudut tak tertoleh pun tak apa.
Simpan ini! Sampai waktu akan menuju mu! Saat aku menjadi pemenang membuat rindu tak berdaya! Ketika aku mematikan waktu, dengan bertemu, mendekap mu. Menumpahkan rindu, melepas belenggu yang berlalu. Memutuskan tali-tali yang memasung di dalam benak. Merengkuh mu! Mendekap!
Menghancurkan kerikil yang telah menghina ku, setan-setan yang mengganggu mu.
Sekali lagi, ini tidak berbentuk lambang dari sebuah rindu, apalagi ungkapan. Sangat jauh untuk mengdiskripsikan. Yang bisa hanya mendekap mu. Menjadikan kamu dalam nyata ku.
Tunggulah itu, kau ingin tau apa rindu itu. Bukan?
Ya, tunggulah. Menantilah. Sampai nanti, nanti, dan nanti lagi.

Goresan Kata Berdarah


                                “GORESAN KATA BERDARAH”                                 

Goresan kata berdarah, mencekam berlumuran menyiksa. Sulit! Menusuk dengan bait, mencabuk
dengan kalimat. Hentakan bebatuan mungkin akan memecahkan. Hingga rapuh dengan aliran darah.
Pukulan baja mememarkan kata. Membiru!
Tak pernah henti dan tak tentu
Tusukan pisau belati terasa tak henti
Karna kata telah tergores. Karna goresan menimbulkan darah.
Desakan nafas dalam lumuran darah menderu, darah menngalir tak menentu.
Kata dalam darah membelenggu, menusuk dalam kalbu.
Kata merubah malaikat menjadi iblis
Merenggut aliran nafas, menampar detak jantung, mengikat aliran nadi.
Menggores dalam menimbun senyuman
Mematahkan sayap dengan pedang
Memaksa berjalan dalam serpihan kaca, kaca menusuk hingga tulang.
Memanahkan seribu anak panah, menusuk semua organ.
Mendorong dari yang paling tinggi, hingga jatuh ke dasar bumi.
Berhamburan darah, mengalir, membeku.
Goresan kata berdarah, merenggut urat nadi. Memutuskannya tiada henti.
Menusuk hingga kesekian kali
Melemparkan ketembok yang penuh pisau.
Darah. Merah pekat, mengalir.
Menjadikan lautan merah darah.
Membiarkan bebatuan menghantam kepala kosong.
Mengalirkan racun mematikan kedalam detak jantung.
Merampas hati dari dalam tubuh, membuangnya entah kemana.
Menggenggam bola mata, mengiris telinga dan menghanyutkannya.
Dengan penuh goresan, lumuran darah.
Kata indah pun menjadi pedang iblis yang menakutkan.
Sorotan ketulusan pun menjadi tatapan setan.
Kehangatan dirasakan seperti tusukan sengatan
Goresan kata berdarah....

Ini,

 

 ini,

hanya sebuah coret-coretan dari seorang pecinta kata, menulis adalah kebahagiaan. kata adalah partikel-partikel kesenangan. buih-buih karangan.
tak berarti apa pun, walau terselip makna yang berimbun.
penikmat aksra, tak pernah puas dengan hasrat dari gelombang fiksi.
waktu tak akan bisa diputar kembali, tapi kata dapat menggambarkan sampai nanti.
tak semua rasa dapat diluapkan, tapi dengan kata dapat begitu mudah menumpahkan.



selamat datang,